“Suara dari Kubangan Pringsewu”

By : Davit Segara

Hujan turun semalaman. Pagi di Pringsewu disambut langit kelabu dan hawa lembap yang melekat pada setiap dinding rumah warga. Jalanan lengang, bukan karena hari libur, tapi karena tak banyak yang berani melintasi jalan yang rusak parah setelah diguyur hujan.

Di Kecamatan Pagelaran Utara, tepat di simpang tiga menuju Banyumas, genangan air menutupi aspal yang sudah lama mengelupas. Di bawah air itu, lubang-lubang besar menanti seperti perangkap. Orang-orang menyebutnya kubangan kerbau—istilah yang perlahan berubah menjadi lelucon pahit di tengah warga.

Davit Segara berdiri di sana pagi itu. Payung hitam kecil bertengger di tangan kirinya, sementara matanya mengamati lalu lintas yang terpaksa melambat. Ia bukan sekadar lewat. Sebagai Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Komite Wartawan Reformasi Indonesia (KWRI) Kabupaten Pringsewu, hari ini ia turun sendiri ke lapangan. Tapi bukan untuk mencari berita. Ia sedang menyusun suara—suara warga yang terlalu lama dipendam.

Satu per satu kendaraan yang melintas terpaksa menepi, ada yang mogok, ada yang harus dibantu warga mendorong karena bannya terjebak. Tak sedikit pengendara motor yang memilih memutar arah. Bagi Davit, ini bukan sekadar pemandangan biasa. Ini potret keputusasaan yang sudah terlalu lama dibiarkan.

“Bayangkan, jalan ini akses utama,” katanya kepada seorang warga yang berdiri di sampingnya. “Anak-anak sekolah lewat sini, ambulans pun harus pakai rute ini kalau mau ke pusat kota. Tapi lihat… seperti tak ada yang peduli.”

Ia mengambil ponselnya dan memotret kondisi jalan. Bukan untuk postingan viral, tapi untuk dokumentasi laporan yang akan dibawanya ke berbagai instansi. Davit tahu, perjuangan ini tidak cukup dengan teriakan. Ia butuh bukti, suara, dan keberanian untuk menyampaikannya.

“Kita sudah terlalu sering diam,” lanjutnya. “Sekarang saatnya bicara.”

Sebagai wartawan Davit punya prinsip yang tak mudah digoyahkan. Baginya, jurnalisme adalah senjata perlawanan ketika keadilan tidak hadir. Jalan rusak ini adalah salah satu bentuk ketidakadilan paling nyata yang menimpa masyarakat kecil.

Davit mengingat cerita seorang ibu di Adiluwih, yang harus menggendong anaknya melintasi jalan berlumpur karena sepeda motornya tak sanggup menembus kubangan. Ia juga masih menyimpan rekaman suara seorang guru yang setiap hari berangkat lebih pagi hanya agar tidak terlambat karena jalan rusak.

“Ini bukan hanya tentang jalan,” ucapnya dalam hati. “Ini tentang akses ke pendidikan, kesehatan, dan penghidupan. Ini tentang kehidupan yang pantas.”

Sore itu, hujan kembali turun. Namun Davit tak beranjak. Ia berdiri lebih lama, menyaksikan air yang semakin dalam di lubang-lubang jalan. Tapi di dalam dirinya, keyakinan tumbuh. Ia tahu jalan panjang ini tak bisa diperbaiki hanya dengan marah-marah di media sosial.

Ia akan terus bersuara. Mendorong pemerintah daerah, menggugah hati para pemangku kepentingan. Karena baginya, wartawan bukan hanya peliput, tapi penyambung suara-suara yang tertinggal.

Dan di tengah kabut sore, di antara kubangan-kubangan besar itu, suara Davit Segara mulai menggema—bukan hanya untuk mengabarkan, tapi untuk mengubah.

banner 300x250

Pos terkait

banner 468x60

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *